Puan
Bentuk pelarian dari sendirian.
Sunday, May 9, 2021
Moon and Sun
Saturday, April 10, 2021
Cermin
Dia kembali memutar video yang beberapa hari lalu dibuatnya. Rekaman yang sengaja ia buat guna menghilangkan kesedihan dan meredam rasa rindu. Bibirnya sempat tersenyum simpul sebelum akhirnya menghilang lantaran gemuruh menguasai pikiran dan perasaannya. Dadanya ikut sesak, air matanya merangsek untuk lebih cepat jatuh.
Layar ponselnya berubah dengan panggilan masuk dari seseorang yang paling ia kenal. Perasaannya semakin berantakan.
“Sayang,” suara pria dari ujung sana mulai mengisi telinga. “Maaf aku baru ngabarin. Tadi dia ribet banget ngajak muter-muter nggak jelas. Kalo nggak diturutin, nanti ngambek. Makin ribet lagi. Maaf, ya? Maaf jadi telat ngabarinnya.”
Dia menarik napasnya pelan. Mengatur deru napasnya agar getarannya tidak terdengar. “Iya, Sayang. Gapapa.”
“Kamu udah ngantuk, belum?”
“Belum, sih.”
“Ya udah, aku cuci muka dulu sebentar ya. Nanti aku telpon lagi. Oke, Sayang?”
Perempuan itu belum menjawab. Dia mengigit bibirnya— bingung. Dalam kepalanya, ada suatu hal yang memaksa untuk dikatakan saat ini juga. Namun, batinnya menolak berkali-kali dan percaya kalau semua akan baik-baik saja.
“Sayang? Kok diem?”
Suaranya kembali mengisi telinga. Mendistraksi perdebatan isi kepala dan batin.
“Iya, Sayang. Nanti kabarin aja kalo udah selesai, ya.”
“Oke deh, tunggu sebentar, ya!”
“Iyaa.”
“Dah, love you!”
Dia tidak bisa menahannya lagi. Air matanya tidak hanya lolos, tapi juga pecah. Namun, ia kembali menarik napasnya panjang. Berusaha tenang dan bersuara bak riang.
“Love you too.”
Panggilan berakhir.
Tangisnya menjadi-jadi.
Kenapa menjadi semenyakitkan ini untuk mencintai? batinnya mengutuk diri.
Wednesday, January 13, 2021
Mendarah
Dalam diam ia menutup indranya. Menulikan pendengaran, membutakan penglihatan, membisukan suara. Bibirnya bergetar dengan kedua bagian yang memaksa terkunci.
“Makanya, kerja yang bener, Mba! Kalo nggak becus, coba training lagi. Jelasin aja kok muter-muter!”
“Mohon maaf atas ketidaknyamanannya ya, Kak. Tidak ada maksud kami untuk mempersulit kendala ini. Namun memang dibutuhkan beberapa bukti untuk menindaklanjuti kendala ini ya, Kak,” balasnya pelan. Menarik napas pelan-pelan.
“Terserah!”
Panggilan berakhir. Gadis itu mengelus dadanya pelan.
“Kuat, ya. Kan setegar karang.”
Kakinya lincah membawanya keluar. Mencari udara segar guna meredam panas dalam hatinya.
Langkahnya berhenti sebelum final keluar dari ruangan. Matanya memicing, memastikan apa yang tertangkap oleh indranya.
Benar. Seorang pria yang paling ia kenal tengah bersenda-gurau dan tersenyum lepas dengan seorang perempuan— yang juga ia tahu, ada perasaan lain.
Dia memeluk kedua kakinya erat-erat. Menenggelamkan wajahnya dalam-dalam. Ia berteriak kuat. Tangisnya ikut pecah. Ingatan demi ingatan memaksa terputar. Bagian paling menyebalkan terus-menerus berlarian di kepala. Menjadi-jadi tangisnya.
Gadis itu menarik napasnya perlahan. Memaksa tangisnya berhenti lebih cepat. Pelan-pelan, ia mengatur debar dadanya yang tidak karuan.
Sebuah foto berukuran polaroid ditariknya keluar dari bawah bantalnya. Dia tersenyum kecil— meski air matanya menghiasi pipi.
“Hari ini, ada beberapa komplain yang cukup nyakitin hati aku. Tapi, gapapa. Kan, aku ini si ratu sejagat. Kamu ingat?” Dia mulai bermonolog. “Oiya, kalau aku terus doain kamu, boleh 'kan?” tanyanya. “Biar perasaan ini, aku dan Tuhan yang tau. Soal perasaan kamu, biar jadi rahasia Sang Pemilik Semesta.” Gadis itu mengusap pelan wajah seseorang yang mengisi potret. “Makasih, ya, udah ada di dunia.”
Dialah pria yang sama.
Wednesday, September 2, 2020
di Kala Rindu
Pakaian-pakaian di dalam lemari sebulan belakangan ini tidak kuperdulikan— berantakan. Tiap pagi buru-buru mencari baju yang cocok untuk berangkat ke kantor, sampai lupa merapikannya seperti semula. Atau tiap kali libur, waktunya kupakai untuk tidur.
Satu-per-satu baju yang sudah tidak lagi berbentuk lipatan kuturunkan. Perlahan kulipat rapih berharap kusutnya menghilang— meski sama saja hasilnya. Di beberapa baju terakhir, kutemukan baju milik Baskara yang sempat diberikan untukku. Baju yang baru kupakai dua kali sejak ia berikan hingga hari ini.
“Kalau nanti aku pulang, baju ini bisa jadi obat kalo kamu kangen.”
“Maksudnya?” Dahiku mengernyit. “Kalo aku kangen, ya video call lah, Bas.”
“Dulu, sebelum ayahku pergi ke pulau rantaunya, baju terakhir yang dia pakai itu disimpan dan nggak dicuci. Ayah bilang, supaya wanginya tetep ada dan bisa menjadi obat diwaktu mama kangen,” jelasnya. “Makanya, aku kasih baju ini ke kamu. Kalo besok lusa kamu kangen, baju ini bisa jadi obatnya.”
Aku tersenyum. Ternyata benar yang Baskara katakan. Tiap kali rindu, kuambil baju yang ia berikan dan kupeluk erat-erat. Harum tubuhnya begitu melekat. Seperti benar raganya yang kupeluk.
Lengkungan pada bibirku tercipta. Bajunya masih kurengkuh. Kedua mataku terpejam, seakan-akan Baskara berada di depan.
“Bas, kangen itu nggak ada habisnya.”
Friday, August 14, 2020
Ingar Bingar Petang
Nirmala dari Puan, Agustus 2020.






